UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2007
TENTANG
PENATAAN RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
a. |
bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
||||
|
|
b. |
bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menurut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila; |
||||
|
|
c. |
bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah; |
||||
|
|
d. |
bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; |
||||
|
|
e. |
bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan; |
||||
|
|
f. |
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun tentang Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang sehingga perlu diganti dengan undang-undang penataan ruang yang baru; |
||||
|
|
g. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penataan Ruang; |
||||
Mengingat |
: |
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
|||||
Dengan Persetujuan Bersama |
|||||||
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA |
|||||||
dan |
|||||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
|||||||
MEMUTUSKAN : |
|||||||
Menetapkan |
: |
UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG. |
|||||
|
|
BAB I |
|||||
|
|
Pasal 1 |
|||||
|
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : |
|||||
|
|
1. |
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. |
||||
|
|
2. |
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. |
||||
|
|
3. |
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. |
||||
|
|
4. |
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. |
||||
|
|
5. |
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
6. |
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. |
||||
|
|
7. |
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
||||
|
|
8. |
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. |
||||
|
|
9. |
Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. |
||||
|
|
10. |
Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. |
||||
|
|
11. |
Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
12. |
Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
13. |
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. |
||||
|
|
14. |
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. |
||||
|
|
15. |
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. |
||||
|
|
16. |
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. |
||||
|
|
17. |
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. |
||||
|
|
18. |
Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. |
||||
|
|
19. |
Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. |
||||
|
|
20. |
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. |
||||
|
|
21. |
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan. |
||||
|
|
22. |
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. |
||||
|
|
23. |
Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. |
||||
|
|
24. |
Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. |
||||
|
|
25. |
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. |
||||
|
|
26. |
Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. |
||||
|
|
27. |
Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. |
||||
|
|
28. |
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. |
||||
|
|
29. |
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. |
||||
|
|
30. |
Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. |
||||
|
|
31. |
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. |
||||
|
|
32. |
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
33. |
Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. |
||||
|
|
34. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang. |
||||
|
|
BAB II |
|||||
|
|
Pasal 2 |
|||||
|
|
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas : |
|||||
|
|
a. |
keterpaduan; |
||||
|
|
b. |
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; |
||||
|
|
c. |
keberlanjutan; |
||||
|
|
d. |
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; |
||||
|
|
e. |
keterbukaan; |
||||
|
|
f. |
kebersamaan dan kemitraan; |
||||
|
|
g. |
perlindungan kepentingan umum; |
||||
|
|
h. |
kepastian hukum dan keadilan; dan |
||||
|
|
i. |
akuntabilitas. |
||||
|
|
Pasal 3 |
|||||
|
|
Penyelengaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan : |
|||||
|
|
a. |
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; |
||||
|
|
b. |
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan |
||||
|
|
c. |
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
BAB III |
|||||
|
|
Pasal 4 |
|||||
|
|
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. |
|||||
|
|
Pasal 5 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. |
||||
|
|
(2) |
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. |
||||
|
|
(3) |
Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. |
||||
|
|
(4) |
Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. |
||||
|
|
(5) |
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. |
||||
|
|
Pasal 6 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan : |
||||
|
|
|
a. |
kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; |
|||
|
|
|
b. |
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan |
|||
|
|
|
c. |
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. |
|||
|
|
(2) |
Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. |
||||
|
|
(3) |
Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. |
||||
|
|
(4) |
Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(5) |
Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. |
||||
|
|
BAB IV |
|||||
|
|
Bagian Kesatu |
|||||
|
|
Pasal 7 |
|||||
|
|
(1) |
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. |
||||
|
|
(2) |
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. |
||||
|
|
(3) |
Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
Bagian Kedua |
|||||
|
|
Pasal 8 |
|||||
|
|
(1) |
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
b. |
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; |
|||
|
|
|
c. |
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan |
|||
|
|
|
d. |
kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi. |
|||
|
|
(2) |
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
perencanaan tata ruang wilayah nasional; |
|||
|
|
|
b. |
pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan |
|||
|
|
|
c. |
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional. |
|||
|
|
(3) |
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
penetapan kawasan strategis nasional; |
|||
|
|
|
b. |
perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan |
|||
|
|
|
d. |
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. |
|||
|
|
(4) |
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan. |
||||
|
|
(5) |
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang. |
||||
|
|
(6) |
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pemerintah : |
||||
|
|
|
a. |
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan : |
|||
|
|
|
|
1) |
rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; |
||
|
|
|
|
2) |
arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan |
||
|
|
|
|
3) |
pedoman bidang penataan ruang; |
||
|
|
|
b. |
menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. |
|||
|
|
Pasal 9 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri. |
||||
|
|
(2) |
Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup : |
||||
|
|
|
a. |
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang; |
|||
|
|
|
b. |
pelaksanaan penataan ruang nasional; dan |
|||
|
|
|
c. |
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. |
|||
|
|
Bagian Ketiga |
|||||
|
|
Pasal 10 |
|||||
|
|
(1) |
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
b. |
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
c. |
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan |
|||
|
|
|
d. |
kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota. |
|||
|
|
(2) |
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
perencanaan tata ruang wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
b. |
pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan |
|||
|
|
|
c. |
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. |
|||
|
|
(3) |
Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan : |
||||
|
|
|
a. |
penetapan kawasan strategis provinsi; |
|||
|
|
|
b. |
perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan |
|||
|
|
|
d. |
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. |
|||
|
|
(4) |
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan. |
||||
|
|
(5) |
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. |
||||
|
|
(6) |
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi : |
||||
|
|
|
a. |
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan : |
|||
|
|
|
|
1) |
rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; |
||
|
|
|
|
2) |
arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan |
||
|
|
|
|
3) |
petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; |
||
|
|
|
b. |
melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. |
|||
|
|
(7) |
Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
Bagian Keempat |
|||||
|
|
Pasal 11 |
|||||
|
|
(1) |
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
b. |
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
c. |
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan |
|||
|
|
|
d. |
kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota. |
|||
|
|
(2) |
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : |
||||
|
|
|
a. |
perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
b. |
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan |
|||
|
|
|
c. |
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. |
|||
|
|
(3) |
Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan : |
||||
|
|
|
a. |
penetapan kawasan strategis kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
b. |
perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan |
|||
|
|
|
d. |
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. |
|||
|
|
(4) |
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya. |
||||
|
|
(5) |
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota : |
||||
|
|
|
a. |
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan |
|||
|
|
|
b. |
melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. |
|||
|
|
(6) |
Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
BAB V |
|||||
|
|
Pasal 12 |
|||||
|
|
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang. |
|||||
|
|
Pasal 13 |
|||||
|
|
(1) |
Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat. |
||||
|
|
(2) |
Pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui : |
||||
|
|
|
a. |
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang; |
|||
|
|
|
b. |
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedoman bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
c. |
pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang; |
|||
|
|
|
d. |
pendidikan dan pelatihan; |
|||
|
|
|
e. |
penelitian dan pengembangan; |
|||
|
|
|
f. |
pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang; |
|||
|
|
|
g. |
penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan |
|||
|
|
|
h. |
pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. |
|||
|
|
(3) |
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut kewenangannya masing-masing. |
||||
|
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
BAB VI |
|||||
|
|
Bagian Kesatu |
|||||
|
|
Paragraf 1 |
|||||
|
|
Pasal 14 |
|||||
|
|
(1) |
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan : |
||||
|
|
|
a. |
rencana umum tata ruang; dan |
|||
|
|
|
b. |
rencana rinci tata ruang. |
|||
|
|
(2) |
Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas : |
||||
|
|
|
a. |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; |
|||
|
|
|
b. |
rencana tata ruang wilayah provinsi; dan |
|||
|
|
|
c. |
rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota. |
|||
|
|
(3) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas : |
||||
|
|
|
a. |
rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; |
|||
|
|
|
b. |
rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan |
|||
|
|
|
c. |
rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. |
|||
|
|
(4) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. |
||||
|
|
(5) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b disusun apabila : |
||||
|
|
|
a. |
rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau |
|||
|
|
|
b. |
rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. |
|||
|
|
(6) |
Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. |
||||
|
|
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 15 |
|||||
|
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi. |
|||||
|
|
Pasal 16 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali. |
||||
|
|
(2) |
Peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menghasilkan rekomendasi berupa : |
||||
|
|
|
a. |
rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; atau |
|||
|
|
|
b. |
rencana tata ruang yang ada perlu direvisi. |
|||
|
|
(3) |
Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 17 |
|||||
|
|
(1) |
Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. |
||||
|
|
(2) |
Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. |
||||
|
|
(3) |
Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya. |
||||
|
|
(4) |
Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. |
||||
|
|
(5) |
Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. |
||||
|
|
(6) |
Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan. |
||||
|
|
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 18 |
|||||
|
|
(1) |
Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri. |
||||
|
|
(2) |
Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur. |
||||
|
|
(3) |
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
Paragraf 2 |
|||||
|
|
Pasal 19 |
|||||
|
|
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan : |
|||||
|
|
a. |
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; |
||||
|
|
b. |
perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; |
||||
|
|
c. |
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; |
||||
|
|
d. |
keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; |
||||
|
|
e. |
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; |
||||
|
|
f. |
rencana pembangunan jangka panjang nasional; |
||||
|
|
g. |
rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan |
||||
|
|
h. |
rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. |
||||
|
|
Pasal 20 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat : |
||||
|
|
|
a. |
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional; |
|||
|
|
|
b. |
rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama; |
|||
|
|
|
c. |
rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional; |
|||
|
|
|
d. |
penetapan kawasan strategis nasional; |
|||
|
|
|
e. |
arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan |
|||
|
|
|
f. |
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. |
|||
|
|
(2) |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk : |
||||
|
|
|
a. |
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; |
|||
|
|
|
b. |
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; |
|||
|
|
|
d. |
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan serta keserasian antarsektor; |
|||
|
|
|
e. |
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; |
|||
|
|
|
f. |
penataan ruang kawasan strategis nasional; dan |
|||
|
|
|
g. |
penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. |
|||
|
|
(3) |
Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. |
||||
|
|
(4) |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(5) |
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(6) |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 21 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a diatur dengan peraturan presiden. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
Paragraf 3 |
|||||
|
|
Pasal 22 |
|||||
|
|
(1) |
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada : |
||||
|
|
|
a. |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; |
|||
|
|
|
b. |
pedoman bidang penataan ruang; dan |
|||
|
|
|
c. |
rencana pembangunan jangka panjang daerah. |
|||
|
|
(2) |
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan : |
||||
|
|
|
a. |
perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi; |
|||
|
|
|
b. |
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi; |
|||
|
|
|
c. |
keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota; |
|||
|
|
|
d. |
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; |
|||
|
|
|
e. |
rencana pembangunan jangka panjang daerah; |
|||
|
|
|
f. |
rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan; |
|||
|
|
|
g. |
rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan |
|||
|
|
|
h. |
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. |
|||
|
|
Pasal 23 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat : |
||||
|
|
|
a. |
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
b. |
rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
c. |
rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi; |
|||
|
|
|
d. |
penetapan kawasan strategis provinsi; |
|||
|
|
|
e. |
arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan |
|||
|
|
|
f. |
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. |
|||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk : |
||||
|
|
|
a. |
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; |
|||
|
|
|
b. |
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
d. |
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor; |
|||
|
|
|
e. |
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; |
|||
|
|
|
f. |
penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan |
|||
|
|
|
g. |
penataan ruang wilayah kabupaten/kota. |
|||
|
|
(3) |
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun. |
||||
|
|
(4) |
Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(5) |
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(6) |
Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. |
||||
|
|
Pasal 24 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
Paragraf 4 |
|||||
|
|
Pasal 25 |
|||||
|
|
(1) |
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada : |
||||
|
|
|
a. |
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; |
|||
|
|
|
b. |
pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan |
|||
|
|
|
c. |
rencana pembangunan jangka panjang daerah. |
|||
|
|
(2) |
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan : |
||||
|
|
|
a. |
perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten; |
|||
|
|
|
b. |
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten; |
|||
|
|
|
c. |
keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten; |
|||
|
|
|
d. |
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; |
|||
|
|
|
e. |
rencana pembangunan jangka panjang daerah; |
|||
|
|
|
f. |
rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan; dan |
|||
|
|
|
g. |
rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten |
|||
|
|
Pasal 26 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat : |
||||
|
|
|
a. |
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten; |
|||
|
|
|
b. |
rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten; |
|||
|
|
|
c. |
rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten; |
|||
|
|
|
d. |
penetapan kawasan strategis kabupaten. |
|||
|
|
|
e. |
arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan |
|||
|
|
|
f. |
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. |
|||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk : |
||||
|
|
|
a. |
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; |
|||
|
|
|
b. |
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; |
|||
|
|
|
c. |
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; |
|||
|
|
|
d. |
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; |
|||
|
|
|
e. |
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan |
|||
|
|
|
f. |
penataan ruang kawasan strategis kabupaten. |
|||
|
|
(3) |
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan. |
||||
|
|
(4) |
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun. |
||||
|
|
(5) |
Rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(6) |
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
||||
|
|
(7) |
Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten. |
||||
|
|
Pasal 27 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
Paragraf 5 |
|||||
|
|
Pasal 28 |
|||||
|
|
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian pada Pasal 26 ayat (1) ditambahkan : |
|||||
|
|
a. |
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; |
||||
|
|
b. |
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan |
||||
|
|
c. |
rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. |
||||
|
|
Pasal 29 |
|||||
|
|
(1) |
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. |
||||
|
|
(2) |
Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. |
||||
|
|
(3) |
Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. |
||||
|
|
Pasal 30 |
|||||
|
|
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. |
|||||
|
|
Pasal 31 |
|||||
|
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri. |
|||||
|
|
Bagian Kedua |
|||||
|
|
Paragraf 1 |
|||||
|
|
Pasal 32 |
|||||
|
|
(1) |
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya. |
||||
|
|
(2) |
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi. |
||||
|
|
(3) |
Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat di dalam rencana tata ruang wilayah. |
||||
|
|
(4) |
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. |
||||
|
|
(5) |
Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah administratif sekitarnya. |
||||
|
|
(6) |
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan minimal dalam penyediaan sarana dan prasarana. |
||||
|
|
Pasal 33 |
|||||
|
|
(1) |
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. |
||||
|
|
(2) |
Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain. |
||||
|
|
(3) |
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. |
||||
|
|
(4) |
Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya. |
||||
|
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Paragraf 2 |
|||||
|
|
Pasal 34 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan : |
||||
|
|
|
a. |
perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis; |
|||
|
|
|
b. |
perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan |
|||
|
|
|
c. |
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis. |
|||
|
|
(2) |
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan kawasan budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi daya yang didorong pengembangannya. |
||||
|
|
(3) |
Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengembangan kawasan secara terpadu. |
||||
|
|
(4) |
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan : |
||||
|
|
|
a. |
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
b. |
standar kualitas lingkungan; dan |
|||
|
|
|
c. |
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. |
|||
|
|
Bagian Ketiga |
|||||
|
|
Pasal 35 |
|||||
|
|
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. |
|||||
|
|
Pasal 36 |
|||||
|
|
(1) |
Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
(2) |
Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
(3) |
Peraturan zonasi ditetapkan dengan : |
||||
|
|
|
a. |
peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; |
|||
|
|
|
b. |
peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan |
|||
|
|
|
c. |
peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi. |
|||
|
|
Pasal 37 |
|||||
|
|
(1) |
Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(2) |
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(3) |
Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. |
||||
|
|
(4) |
Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. |
||||
|
|
(5) |
Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin. |
||||
|
|
(6) |
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. |
||||
|
|
(7) |
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. |
||||
|
|
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 38 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. |
||||
|
|
(2) |
Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa : |
||||
|
|
|
a. |
keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; |
|||
|
|
|
b. |
pembangunan serta pengadaan infrastruktur; |
|||
|
|
|
c. |
kemudahan prosedur perizinan; dan/atau |
|||
|
|
|
d. |
pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah. |
|||
|
|
(3) |
Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang berupa : |
||||
|
|
|
a. |
pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau |
|||
|
|
|
b. |
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. |
|||
|
|
(4) |
Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat. |
||||
|
|
(5) |
Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh : |
||||
|
|
|
a. |
Pemerintah kepada pemerintah daerah; |
|||
|
|
|
b. |
pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan |
|||
|
|
|
c. |
pemerintah kepada masyarakat. |
|||
|
|
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 39 |
|||||
|
|
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. |
|||||
|
|
Pasal 40 |
|||||
|
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan pemerintah. |
|||||
|
|
Bagian Keempat |
|||||
|
|
Paragraf 1 |
|||||
|
|
Pasal 41 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada : |
||||
|
|
|
a. |
kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau |
|||
|
|
|
b. |
kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi. |
|||
|
|
(2) |
Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b menurut besarannya dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, atau kawasan megapolitan. |
||||
|
|
(3) |
Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Paragraf 2 |
|||||
|
|
Pasal 42 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 29, dan Pasal 30. |
||||
|
|
Pasal 43 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah. |
||||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi arahan struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah administratif. |
||||
|
|
Pasal 44 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah. |
||||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang kawasan metropolitan dan/atau kawasan megapolitan berisi : |
||||
|
|
|
a. |
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan; |
|||
|
|
|
b. |
rencana struktur ruang kawasan metropolitan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan metropolitan dan/atau megapolitan; |
|||
|
|
|
c. |
rencana pola ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya; |
|||
|
|
|
d. |
arahan pemanfaatan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat interdependen antarwilayah administratif; dan |
|||
|
|
|
e. |
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan metropolitan dan/atau megapolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. |
|||
|
|
Paragraf 3 |
|||||
|
|
Pasal 45 |
|||||
|
|
(1) |
Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/kota terkait. |
||||
|
|
Paragraf 4 |
|||||
|
|
Pasal 46 |
|||||
|
|
(1) |
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi dilaksanakan oleh setiap kabupaten/kota. |
||||
|
|
(3) |
Untuk kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud. |
||||
|
|
Paragraf 5 |
|||||
|
|
Pasal 47 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan kerja sama antardaerah. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perkotaan diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Bagian Kelima |
|||||
|
|
Paragraf 1 |
|||||
|
|
Pasal 48 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk : |
||||
|
|
|
a. |
pemberdayaan masyarakat perdesaan; |
|||
|
|
|
b. |
pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya; |
|||
|
|
|
c. |
konservasi sumber daya alam; |
|||
|
|
|
d. |
pelestarian warisan budaya lokal; |
|||
|
|
|
e. |
pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan |
|||
|
|
|
f. |
penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. |
|||
|
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang. |
||||
|
|
(3) |
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada : |
||||
|
|
|
a. |
kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau |
|||
|
|
|
b. |
kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi. |
|||
|
|
(4) |
Kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kawasan agropolitan. |
||||
|
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan agropolitan diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Paragraf 2 |
|||||
|
|
Pasal 49 |
|||||
|
|
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian rencana tata ruang wilayah kabupaten. |
|||||
|
|
Pasal 50 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten dapat dilakukan pada tingkat wilayah kecamatan atau beberapa wilayah desa atau nama lain yang disamakan dengan desa yang merupakan bentuk detail dari penataan ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah. |
||||
|
|
(3) |
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah administratif. |
||||
|
|
Pasal 51 |
|||||
|
|
(1) |
Rencana tata ruang kawasan agropolitan merupakan rencana rinci tata ruang 1 (satu) atau beberapa wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Rencana tata ruang kawasan agropolitan memuat : |
||||
|
|
|
a. |
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan agropolitan; |
|||
|
|
|
b. |
rencana struktur ruang kawasan agropolitan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan agropolitan; |
|||
|
|
|
c. |
rencana pola ruang kawasan agropolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya; |
|||
|
|
|
d. |
arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat interdependen antardesa; dan |
|||
|
|
|
e. |
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan agropolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. |
|||
|
|
Paragraf 3 |
|||||
|
|
Pasal 52 |
|||||
|
|
(1) |
Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten terkait. |
||||
|
|
Paragraf 4 |
|||||
|
|
Pasal 53 |
|||||
|
|
(1) |
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. |
||||
|
|
(2) |
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan oleh setiap kabupaten. |
||||
|
|
(3) |
Untuk kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten yang mempunyai lembaga kerja sama antarwilayah kabupaten, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud. |
||||
|
|
Paragraf 5 |
|||||
|
|
Pasal 54 |
|||||
|
|
(1) |
Penataan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
(3) |
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan secara terintegrasi dengan kawasan perkotaan sebagai satu kesatuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. |
||||
|
|
(4) |
Penataan ruang kawasan agropolitan diselenggarakan dalam keterpaduan sistem perkotaan wilayah dan nasional. |
||||
|
|
(5) |
Keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup keterpaduan sistem permukiman, prasarana, sistem ruang terbuka, baik ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka nonhijau. |
||||
|
|
BAB VII |
|||||
|
|
Pasal 55 |
|||||
|
|
(1) |
Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. |
||||
|
|
(2) |
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. |
||||
|
|
(3) |
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. |
||||
|
|
(4) |
Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. |
||||
|
|
(5) |
Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. |
||||
|
|
Pasal 56 |
|||||
|
|
(1) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(2) |
Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan penataan ruang, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya. |
||||
|
|
(3) |
Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota. |
||||
|
|
(4) |
Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Gubernur. |
||||
|
|
Pasal 57 |
|||||
|
|
Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||||
|
|
Pasal 58 |
|||||
|
|
(1) |
Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pula pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang dan kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. |
||||
|
|
(2) |
Dalam rangka peningkatan kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional disusun standar pelayanan penyelenggaraan penataan ruang untuk tingkat nasional. |
||||
|
|
(3) |
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pelayanan dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
(4) |
Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar pelayanan minimal bidang penataan ruang provinsi dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang kabupaten/kota. |
||||
|
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
Pasal 59 |
|||||
|
|
(1) |
Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan pedoman bidang penataan ruang. |
||||
|
|
(2) |
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan pada pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. |
||||
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang diatur dengan peraturan Menteri. |
||||
|
|
BAB VIII |
|||||
|
|
Pasal 60 |
|||||
|
|
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk : |
|||||
|
|
a. |
mengetahui rencana tata ruang; |
||||
|
|
b. |
menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; |
||||
|
|
c. |
memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; |
||||
|
|
d. |
mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; |
||||
|
|
e. |
mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan |
||||
|
|
f. |
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. |
||||
|
|
Pasal 61 |
|||||
|
|
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib : |
|||||
|
|
a. |
menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; |
||||
|
|
b. |
memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; |
||||
|
|
c. |
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan |
||||
|
|
d. |
memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. |
||||
|
|
Pasal 62 |
|||||
|
|
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. |
|||||
|
|
Pasal 63 |
|||||
|
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa: |
|||||
|
|
a. |
peringatan tertulis; |
||||
|
|
b. |
penghentian sementara kegiatan; |
||||
|
|
c. |
penghentian sementara pelayanan umum; |
||||
|
|
d. |
penutupan lokasi; |
||||
|
|
e. |
pencabutan izin; |
||||
|
|
f. |
pembatalan izin; |
||||
|
|
g. |
pembongkaran bangunan; |
||||
|
|
h. |
pemulihan fungsi ruang; dan/atau |
||||
|
|
i. |
denda administratif. |
||||
|
|
Pasal 64 |
|||||
|
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah. |
|||||
|
|
Pasal 65 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. |
||||
|
|
(2) |
Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui : |
||||
|
|
|
a. |
partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; |
|||
|
|
|
b. |
partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan |
|||
|
|
|
c. |
partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. |
|||
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
||||
|
|
Pasal 66 |
|||||
|
|
(1) |
Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergugat dapat membuktikan bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. |
||||
|
|
BAB IX |
|||||
|
|
Pasal 67 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
BAB X |
|||||
|
|
Pasal 68 |
|||||
|
|
(1) |
Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
||||
|
|
(2) |
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : |
||||
|
|
|
a. |
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
b. |
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
c. |
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
d. |
melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; |
|||
|
|
|
e. |
melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan |
|||
|
|
|
f. |
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. |
|||
|
|
(3) |
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. |
||||
|
|
(4) |
Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
(5) |
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. |
||||
|
|
(6) |
Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
BAB XI |
|||||
|
|
Pasal 69 |
|||||
|
|
(1) |
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||
|
|
(2) |
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||
|
|
(3) |
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||
|
|
Pasal 70 |
|||||
|
|
(1) |
Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||
|
|
(2) |
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
||||
|
|
(3) |
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||
|
|
(4) |
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima betas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||
|
|
Pasal 71 |
|||||
|
|
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
|||||
|
|
Pasal 72 |
|||||
|
|
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
|||||
|
|
Pasal 73 |
|||||
|
|
(1) |
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||
|
|
(2) |
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. |
||||
|
|
Pasal 74 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. |
||||
|
|
(2) |
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : |
||||
|
|
|
a. |
pencabutan izin usaha; dan/atau |
|||
|
|
|
b. |
pencabutan status badan hukum. |
|||
|
|
Pasal 75 |
|||||
|
|
(1) |
Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. |
||||
|
|
(2) |
Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. |
||||
|
|
BAB XII |
|||||
|
|
Pasal 76 |
|||||
|
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. |
|||||
|
|
Pasal 77 |
|||||
|
|
(1) |
Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
(2) |
Pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian. |
||||
|
|
(3) |
Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak. |
||||
|
|
BAB XIII |
|||||
|
|
Pasal 78 |
|||||
|
|
(1) |
Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. |
||||
|
|
(2) |
Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. |
||||
|
|
(3) |
Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. |
||||
|
|
(4) |
Dengan berlakunya Undang-Undang ini : |
||||
|
|
|
a. |
Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan; |
|||
|
|
|
b. |
semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan; dan |
|||
|
|
|
c. |
semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. |
|||
|
|
Pasal 79 |
|||||
|
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
|||||
|
|
Pasal 80 |
|||||
|
|
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembara Negara Republik Indonesia. |
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Disahkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 26 April 2007 |
|
|
|
|
|
|
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
|
|
|
|
|
|
|
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO |
Diundangkan di Jakarta |
|
|
|||||
Pada tanggal 26 April 2007 |
|
|
|||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, |
|
|
|||||
HAMID AWALUDIN |
|
|
|||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 |