Oleh: NIRWONO JOGA - Pusat Studi Perkotaan
Dalam pengantarnya, platform arsitektur Rethinking The Future (RTF) menulis bahwa tidak ada kota yang sempurna. Kota akan terus berevolusi, dinamika kehidupan manusia dan sistem kota akan turut berubah seiring dengan waktu. Dengan kebutuhan penduduk yang terus berubah, dibutuhkan metode perencanaan tata kota yang baik. Kota memang memiliki bentuk dan ukuran berbeda. Tidak ada definisi perencanaan kota yang baik yang bisa diterapkan di semua kota di dunia. Lalu, apa yang bisa disebut dengan tata kota yang buruk?
Pada akhir Agustus lalu, dalam laporan 10 Examples of Bad Urban City Planning, RTF (2021) menempatkan Jakarta sebagai contoh tata kota terburuk di dunia di peringkat pertama, diikuti Dubai, Uni Emirat Arab; Brasilia, Brasil; Atlanta, Amerika Serikat; Sao Paulo, Brasil; Boston dan Missoula di Amerika; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Amerika; dan Dhaka, Bangladesh. RTF menilai Jakarta sebagai ibu kota yang sangat padat, yang tersedak asap, dan tenggelam dalam air yang tercemar. Selama puluhan tahun, perencanaan tata kota yang tidak matang telah membuat Jakarta menjadi kota dengan infrastruktur dan kualitas hidup yang buruk. Ruang terbuka hijau (RTH) tidak memadai, kemacetan lalu lintas parah, dan perluasan kota yang tidak terkendali telah berkontribusi terhadap kualitas kota yang buruk.
Faktor lain ialah pembangunan infrastruktur tidak terintegrasi dengan baik, sehingga mengurangi kemungkinan penerapan pembangunan jangka panjang. Namun Jakarta diapresiasi karena tengah berupaya membangun transportasi massal terpadu (MRT, LRT, KRL, dan Transjakarta) dan penyediaan ruang publik yang terancang baik. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah Jakarta?
Konsistensi pemerintah daerah untuk mematuhi, melaksanakan, dan mengendalikan rencana tata kota merupakan keharusan dan kunci keberhasilan penataan kota. Penyusunan rencana tata ruang membutuhkan waktu lama, biaya yang tidak sedikit, dan melibatkan berbagai pakar serta mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Dalam rencana tata ruang, ada tahapan, strategi, program prioritas, batas waktu, sumber pendanaan, peraturan, dan kewenangan yang jelas. Masa berlaku rencana tata kota selama 20 tahun akan memandu kepala daerah membangun kota dengan benar. Janganlah ganti gubernur lalu ganti kebijakan. Sebaliknya, gubernur tinggal melaksanakan rencana tata kota dan menegakkan aturan terhadap pelanggarnya.
Jakarta memang memiliki rencana tata kota, tapi dalam pelaksanaannya sering kali tidak konsisten. Jakarta sudah memiliki Rencana Induk Djakarta 1965-1985 dan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005. Karena dinilai sudah banyak perubahan (baca: pelanggaran tata ruang), Gubernur Sutiyoso mempercepat perubahan rencana kota melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Gubernur Fauzi Bowo menyusun RTRW DKI Jakarta 2010-2030 yang disahkan pada 2012, yang terlambat karena negosiasi yang alot. Salah satu isu penting yang dibahas ialah masuknya usulan rencana 17 pulau reklamasi. Dokumen turunan RTRW, yakni rencana detail tata ruang, pun ikut molor dan baru disetujui pada 2014. Perlu dicatat bahwa pembaruan rencana tata ruang selalu diiringi dengan perubahan peruntukan (baca: pemutihan) terhadap pelanggaran tata ruang yang telah terjadi.
RTF menilai Jakarta kekurangan RTH sehingga kualitas lingkungan kota buruk. RTH terus menyusut, mulai dari 37,2 persen (1965), 25,85 persen (1985), 9 persen (2000), hingga kini 9,98 persen (2020). Daerah resapan air itu berubah fungsi menjadi kawasan permukiman, seperti Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading, dan Kemang. Bencana ekologis berupa banjir yang semakin sering terjadi, krisis air bersih, peningkatan polusi udara, hingga ancaman tenggelam merupakan konsekuensi logis dari minimnya RTH.
Jakarta sebenarnya memiliki potensi RTH sebesar 14-16 persen. Pembenahan bantaran 13 sungai, penghijauan 13 koridor utama kereta api dan kolong jalan/jembatan layang, akan menambah RTH jalur hijau. Revitalisasi dapat dilakukan terhadap 109 situ/danau/embung/waduk dan memperbanyak taman air, seperti Taman Waduk Pluit. Restorasi kawasan pantai berupa reboisasi hutan mangrove juga penting. Itu semua akan memperbaiki kualitas udara, memperluas daya serap (mengurangi banjir dan menjadi sumber air baku), dan menyediakan ruang publik sehat bagi masyarakat.
Jakarta sebagai kota kolaborasi menuntut peran serta masyarakat untuk aktif terlibat dalam setiap pembangunan kotanya. Jakarta haruslah menjadi kota inklusif, ketika kota mengakomodasi kesetaraan hak dan kebutuhan semua kelompok masyarakat secara adil dan merata (Bank Dunia, 2015).
Kota inklusif juga harus memiliki ketersediaan ruang fisik yang meliputi infrastruktur penunjang kegiatan masyarakat (inklusi ruang), mempertimbangkan kesetaraan sosial terhadap hak dan partisipasi semua kelompok masyarakat (inklusi sosial), serta menyediakan lapangan pekerjaan dan kesempatan kepada semua kelompok masyarakat untuk merasakan pertumbuhan/perkembangan ekonomi (inklusi ekonomi). Ke sanalah tata kota Jakarta harus dikembangkan.
.
#landscapearchitecture
#landscapearchitects
#indonesiansocietyoflandscapearchitect