Oleh: NIRWONO JOGA - Pusat Studi Perkotaan
JAKARTA masih menjadi salah satu ibu kota dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia, kota metropolutan, yang berbahaya bagi seluruh warga kota, khususnya bagi kesehatan kelompok rentan bayi, anak-anak, ibu hamil, dan manula. Kasus terbaru pencemaran udara yang disebabkan kegiatan PT Karya Citra Nusantara (KCN) hingga saat ini masih berdampak ke masyarakat di kawasan Pelabuhan Marunda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah memberikan sanksi kepada pihak terkait. Pemberian sanksi itu diberikan secara bertahap sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, dalam waktu dekat pihak PT KCN harus segera menindaklanjuti sanksi yang diberikan Pemprov DKI. Dari persoalan pencemaran udara yang berdampak langsung kepada warga DKI Jakarta, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, hasil penelitian ITB di tiga titik, yakni kawasan Gelora Bung Karno, Kebon Jeruk, dan Lubang Buaya, pada Oktober 2018-Maret 2019 (musim hujan) dan JuliSeptember 2019 (musim kemarau) menunjukkan sumber polusi di Jakarta berasal dari asap knalpot kendaraan 32%-41% (hujan) dan 42%-57% (kemarau); aerosol sekunder 6%-16% (hujan) dan 1%-7% (kemarau); pembakaran batu bara 14% (hujan); dan aktivitas konstruksi 13% (hujan).
Selain itu, pembakaran terbuka biomassa dan bahan bakar 11% (hujan) dan 9% (kemarau); debu jalan beraspal 1%-6% (hujan) dan 9% (kemarau); partikel tanah tersuspensi 10%-18% (kemarau); garam laut 1%-10% (hujan) dan 19%-22% (kemarau). Secara umum, polusi udara berasal dari transportasi darat 46% dan sektor industri 43% (World Resources Institute Indonesia, 2021).
Standar baku mutu udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ialah 10 mikrogram per meter kubik, sementara standar baku mutu udara ambien nasional 15 mikrogram per meter kubik. Di Jakarta, tingkat polusinya enam kali lebih tinggi daripada standar WHO dan itu membuat angka harapan hidup warga kota bisa berkurang 4,8 tahun. Pemerintah harus segera menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, beberapa peraturan terkait dengan upaya mengatasi polusi udara, antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No 38/2004 tentang Jalan.
Selain itu, ada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 03/ PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Perda No 1/ 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030, Perda No 5/2014 tentang Transportasi, dan Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
Ketiga, Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, meliputi memperketat pengendalian sumber pencemaran udara dan memperbaiki mutu udara, menjamin ketersediaan udara bersih, dan menekan emisi gas buang; mendorong peralihan gaya hidup masyarakat seperti beralih menggunakan transportasi massal (jarak sedang-jauh), berjalan kaki atau bersepeda (jarak dekat); serta mengoptimalkan penghijauan dengan menanam lebih banyak pohon, dan menambah luas RTH (Pergub No 24/2021 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pohon).
Kota harus menyediakan infrastruktur pejalan kaki (trotoar, jembatan penyeberangan orang/JPO, zebra croos, pelican crossing) dan infrastruktur pesepeda (jalur/lajur sepeda, rambu, marka, parkir, ruang ganti, bengkel/toko aksesori). Selain itu, mengintegrasikan transportasi massal yang mencakup sistem (tiket, harga, angkutan umum) dan fisik (JPO, halte-stasiun). Standar layanan moda transportasi terintegrasi, yakni satu simpul, perpindahan moda dalam satu perjalanan maksimal tiga kali, waktu perjalanan dari tempat asal ke tujuan maksimal 2,5 jam, akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter, serta gedung/kantong parkir komunal.
Keempat, harmonisasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Jabodetabekpunjur, dan Perpres No 55/2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Selaraskan Perda 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta dengan pengembangan transportasi massal.
Kota melakukan peremajaan kawasan (regenerasi perkotaan), sesuai dengan rencana tata ruang kota dan terintegrasi antara moda transportasi, kepemilikan lahan, konsolidasi lahan, jaminan kebijakan, dan bentuk insentif. Pengembangan kawasan berorientasi pejalan kaki (pedestrian oriented development/POD), seperti di kawasan pusat perkotaan (SCBD Sudirman, Kuningan, Kemayoran), kawasan permukiman (Menteng, Kebayoran Baru, Pondok Indah, Kelapa Gading), kawasan wisata (Kota Tua, Ancol, Silang Monas, Gelora Bung Karno). Selain itu, untuk mempercepat perbaikan kualitas udara kota, kota perlu menerapkan jalan berbayar elektronik di jalan utama, memperluas penerapan ganjil-genap baik kawasan maupun jenis kendaraan, menerapkan parkir elektronik progresif, melakukan uji emisi kendaraan bermotor, mengembangkan kendaraan ramah lingkungan. Juga, memperbanyak kantong parkir di simpul terminal/ stasiun/halte, serta memperluas jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan infrastruktur pendukung.
.
#landscapearchitecture
#landscapearchitects
#indonesiansocietyoflandscapearchitect