KETIKA SENSE OF PLACE PECINAN GLODOK TERDESAK PEMBANGUNAN MALL

Dalam dunia perancangan kota, kita mengenal istilah Sense of Place atau “roh dari sebuah tempat”. Glodok bukan sekadar titik koordinat di Jakarta Barat; ia adalah sebuah lapisan sejarah (urban palimpsest) yang terbentuk sejak abad ke-17. Namun, hari ini kita menyaksikan fenomena yang menyedihkan: identitas visual dan ruang yang kaya itu perlahan sirna, berganti menjadi hutan beton yang generik.

Permasalahannya ada dalam komodifikasi ruang di pembangunan Jakarta. Mari bicara jujur, Jakarta saat ini sedang terjebak dalam arus globalisasi dan tekanan ekonomi yang luar biasa. Sebagai Urban Designer, saya melihat ada pola yang mengkhawatirkan.

Transformasi yang terlalu dipaksa membuat bangunan cagar budaya yang punya karakter kuat justru dirubuhkan hanya untuk memberi ruang bagi mall atau gedung komersial “copy-paste” yang bisa kita temukan di mana saja.

Loss of Identity, Ketika sebuah kawasan bersejarah kehilangan tipologi bangunannya, ia kehilangan daya tariknya sebagai landmark kota. Kita tidak lagi membangun karakter, kita hanya membangun luas lantai yang bisa dijual.

Sejarah mencatat bahwa Glodok adalah pusat gravitasi ekonomi dan budaya Tionghoa sejak masa kolonial. Nama “Glodok” sendiri—yang konon berasal dari kata “kelodok”—membawa memori kolektif tentang komunitas yang tumbuh bersama.

Dari kacamata Landscape Architect, Glodok adalah sebuah tapestry tekstur ruang yang unik dengan Streetscape yang Hidup, dimana terjadi interaksi antara pedagang kaki lima, toko tekstil tua, dan aroma kuliner khas adalah elemen lanskap budaya yang tidak bisa diciptakan secara instan oleh Arsitek Lanskap manapun.

Ruang Spiritual yang kuat dengan Kehadiran Vihara Dharma Bhakti atau Kelenteng Jin De Yuan, bagi kami bukan sekadar objek wisata, melainkan jangkar visual dan spiritual yang memberikan skala manusiawi (human scale) di tengah kepungan gedung tinggi.

“Sebuah kota tanpa bangunan dan lanskap bersejarah ibarat manusia tanpa memori. Ia hidup, tapi tidak tahu siapa dirinya.”

Mengapa Kita Harus Peduli? Tingginya harga lahan memang menjadi tantangan nyata bagi kami di dunia urban design. Namun, menjadikan efisiensi ekonomi sebagai satu-satunya parameter pembangunan adalah kesalahan besar.

Pecinan Glodok adalah saksi bisu perjalanan multikultural Batavia hingga menjadi Jakarta. Jika kita terus membiarkan perubahan fungsi lahan tanpa kontrol dan perlindungan terhadap sense of place, Jakarta akan menjadi kota yang “mati” secara jiwa—kota yang efisien secara ekonomi, namun kering secara rasa.

Glodok tetap bertahan hingga hari ini, tapi pertanyaannya, sampai kapan ia bisa mempertahankan wajah aslinya di tengah gempuran modernitas yang tak punya wajah?

Penulis : Ir. Atma Winata Nawawi, ST., M.Ars., IALI.

Penulis adalah Arsitek Lanskap Profesional yang fokus pada pembangunan berkelanjutan. Penulis adalah anggota IALI Jakarta, aktif menulis dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar.