
Rapat Rasio Hijau Jakarta
Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Jakarta mengadakan pertemuan dengan SKPD terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jakarta rabu (17/12). Wajah Jakarta sering diidentikan dalam kepungan infrastruktur beton, dimana sebagai megapolitan yang sedang bertransformasi menjadi Kota Global, Jakarta menghadapi tantangan lingkungan yang besar.
Di tengah ambisi pembangunan infrastruktur transportasi dan gedung pencakar langit, ada satu elemen vital yang sering terhimpit yaitu Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota wajib memiliki 30% RTH dari total luas wilayahnya. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa Jakarta masih berjuang di angka satu digit.
Pengurus Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Jakarta yang diwakili Atma Winata Nawawi, Nurliya Fitriasari, dan Nur Rahma Amania hadir memenuhi undangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membahas masa depan hijau kota ini. Pertemuan yang dibuka oleh Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Jakarta Afan Adriansyah Idris. Rapat ini menjadi momentum krusial untuk melakukan reorientasi strategi pengadaan dan pengelolaan RTH di Jakarta.

Staff Khusus Gubernur Jakarta Bersama Pengurus IALI Jakarta
Urgensi Pertemuan di Balaikota: Suara Profesional untuk Kebijakan Publik
Rapat koordinasi ini menjadi sangat penting karena dihadiri oleh pemangku kepentingan kunci, termasuk Ir. Nirwono Joga, MLA, selaku Staf Khusus Gubernur Jakarta yang juga merupakan tokoh senior dalam dunia arsitektur lanskap. Kehadiran IALI dalam forum ini menandakan pengakuan pemerintah terhadap pentingnya pendekatan saintifik dan estetis dalam menata kota.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup dalam pembukaannya menekankan bahwa Jakarta tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang lambat dalam mengejar target RTH. Diperlukan terobosan yang selaras dengan hukum namun tetap adaptif terhadap dinamika lapangan yang kompleks.
Sebagai penghubung antara kebijakan teknis dan visi strategis Gubernur, Ir. Nirwono Joga menekankan bahwa RTH bukan sekadar “penghias” kota. Dalam pandangannya, RTH adalah infrastruktur ekologis. “Kita harus melihat RTH sebagai solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk mengatasi banjir, polusi udara, dan penurunan muka tanah di Jakarta,” ujarnya dalam rapat tersebut.
Tantangan Klasik: Paradigma Pembebasan Lahan dan Keterbatasan APBD
Selama berdekade-dekade, strategi utama Pemprov Jakarta dalam menambah RTH adalah melalui pembebasan lahan menggunakan dana APBD. IALI Jakarta memberikan catatan kritis terhadap pendekatan tunggal ini.
Mengapa APBD Saja Tidak Cukup? Dalam forum tersebut, IALI Jakarta memaparkan analisis bahwa harga tanah di Jakarta terus melambung tinggi secara eksponensial. Jika pemerintah hanya mengandalkan pembelian lahan, maka target 30% RTH kemungkinan besar tidak akan pernah tercapai dalam 50 tahun ke depan.
Ketergantungan pada APBD menciptakan beban fiskal yang berat, sementara kebutuhan kota lainnya—seperti pendidikan dan kesehatan—juga menuntut anggaran yang besar. Oleh karena itu, IALI Jakarta mendorong adanya pergeseran paradigma dari “pemerintah sebagai penyedia tunggal” menjadi “pemerintah sebagai fasilitator kolaborasi.”

RTH di Thamrin Nine Jakarta Pusat
Strategi Kolaborasi: Mengoptimalkan Aset Pemerintah Pusat, BUMN, dan Swasta
Inilah poin inti yang dibawa oleh IALI Jakarta dalam rapat tersebut. Peningkatan RTH tidak harus selalu berarti kepemilikan lahan oleh Pemprov. Ada ribuan hektar lahan di Jakarta yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat (Kementerian), BUMN, maupun pihak swasta yang secara fisik bersifat terbuka namun belum terkelola sebagai RTH publik.
A. Sinergi dengan Pemerintah Pusat dan BUMN
Jakarta adalah rumah bagi banyak aset negara. Area perkantoran kementerian, lahan-lahan milik KAI, Pertamina, hingga aset-aset yang dikelola oleh Sekretariat Negara memiliki potensi besar untuk dikonversi menjadi RTH tanpa harus berpindah kepemilikan. IALI mengusulkan mekanisme Joint Management di mana lahan tetap milik BUMN/Pusat, namun desain dan pengelolaannya diintegrasikan dengan sistem RTH kota.
B. Kemitraan dengan Sektor Swasta
Pihak swasta, melalui kewajiban Koefisien Dasar Hijau (KDH) dan tanggung jawab sosial (CSR), memiliki peran vital. IALI mendorong agar area hijau di kawasan komersial—seperti mal, perkantoran, dan apartemen—tidak hanya bersifat privat, tetapi dapat diakses publik atau setidaknya memberikan fungsi ekologis yang tersertifikasi.
Mendesak Revisi Pergub No. 09/2022: Menuju Regulasi yang Adaptif
Salah satu poin paling krusial yang ditegaskan IALI Jakarta adalah desakan untuk segera merevisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 09 Tahun 2022 tentang Ruang Terbuka Hijau.
Mengapa Harus Direvisi Sekarang?
Menurut IALI, Pergub 09/2022 yang ada saat ini perlu diharmonisasi dengan kondisi terkini, terutama setelah terbitnya beberapa regulasi baru di tingkat nasional dan perubahan status Jakarta pasca-IKN (Ibu Kota Nusantara). Beberapa poin revisi yang diusulkan meliputi:
Definisi RTH yang Lebih Inovatif: Memasukkan konsep Green Roof (atap hijau), Vertical Garden, dan Bioswales sebagai komponen yang dihitung dalam rasio RTH.
Mekanisme Insentif dan Disinsentif: Memberikan kemudahan pajak atau bonus lantai bangunan bagi pengembang yang menyediakan RTH melebihi kewajiban minimal.
Standardisasi Pengelolaan: Memastikan bahwa RTH yang dibangun oleh pihak ketiga memiliki standar kualitas lanskap yang berkelanjutan sesuai kaidah arsitektur lanskap.
5. Perspektif Teknis Arsitektur Lanskap: Kualitas di Atas Kuantitas
IALI Jakarta juga mengingatkan bahwa mengejar angka 30% tidak boleh mengorbankan kualitas. Sebuah taman bukan sekadar rumput dan pohon.
Biodiversitas dan Ekosistem
Arsitek lanskap menekankan pentingnya pemilihan vegetasi lokal (native species) yang mampu menyerap polutan secara efektif dan mendukung keanekaragaman hayati perkotaan. RTH harus mampu menjadi koridor bagi fauna perkotaan seperti burung dan serangga penyerbuk.
Manajemen Air (Sponge City)
Dalam rapat tersebut, didiskusikan bagaimana desain RTH masa depan Jakarta harus berfungsi sebagai “spons”. Dengan teknik Sustainable Drainage Systems (SuDS), RTH dirancang untuk menyerap air hujan ke dalam tanah, bukan sekadar mengalirkannya ke drainase yang sudah penuh.
6. Dampak Sosial: RTH sebagai Ruang Demokrasi
IALI Jakarta menekankan bahwa setiap langkah penambahan RTH harus berdampak pada kesejahteraan warga. RTH adalah ruang di mana sekat sosial hilang. Warga dari berbagai latar belakang ekonomi bertemu di taman yang sama.
Peningkatan RTH melalui kolaborasi aset akan memastikan bahwa akses terhadap ruang hijau tidak hanya terkonsentrasi di Jakarta Pusat atau Selatan, tetapi merata hingga ke pemukiman padat di Jakarta Utara dan Timur. Ini adalah bentuk keadilan tata ruang.
7. Penutup: Komitmen Bersama untuk Masa Depan
Pertemuan di Balaikota ini hanyalah awal dari kerja panjang. IALI Jakarta berkomitmen untuk terus mengawal revisi Pergub No. 09/2022 dan memberikan asistensi teknis dalam setiap proyek strategis pemerintah.
Keterlibatan Ir. Nirwono Joga, MLA, dan jajaran profesional IALI menjadi jaminan bahwa kebijakan yang diambil akan berbasis pada data dan estetika lanskap yang mumpuni. Jakarta sedang bertransformasi, dan transformasi itu harus berwarna hijau.
Langkah Selanjutnya
IALI Jakarta mengajak seluruh pemangku kepentingan—mulai dari akademisi, pengembang, hingga masyarakat sipil—untuk mendukung langkah Pemprov Jakarta dalam melakukan harmonisasi peraturan RTH. Masa depan Jakarta sebagai Kota Global yang layak huni sangat bergantung pada keberanian kita hari ini untuk mengubah strategi pembangunan yang lebih hijau, inklusif, dan kolaboratif.